Wajah Baru PPDB Jadi SPMB

Wajah
Wajah Baru PPDB Jadi SPMB

WorldNews – Pemerintah lewat Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) secara resmi mengumumkan penggantian sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Sistem ini akan diterapkan jadi tahun 2025.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyebutkan bahwa skema SPMB akan miliki empat jalan penerimaan: domisili, prestasi, afirmasi, dan mutasi.

“Kami sampaikan bahwa jalan penerimaan murid baru itu tersedia empat, yang pertama adalah domisili atau area tinggal murid, yang ke-2 prestasi, yang ketiga jalan afirmasi, dan yang keempat jalan mutasi,” kata Abdul Mu’ti didalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Jalur domisili merupakan penyesuaian dari sistem zonasi yang selama ini diterapkan, bersama sebagian modifikasi cocok bersama kondisi area masing-masing. Jalur prestasi mencakup prestasi akademik dan non-akademik, terhitung olahraga, seni, dan kepemimpinan.

“Non-akademik tersedia dua, olahraga dan seni, saat ini dilengkapi kepemimpinan. Mereka yang aktif sebagai pengurus OSIS atau apabila Pramuka atau yang lain-lain nanti akan menjadi pertimbangan jalan prestasi,” ujarnya.

Jalur afirmasi dimaksudkan bagi penyandang disabilitas dan murid dari keluarga kurang mampu. Sementara itu, jalan mutasi diperuntukkan bagi murid yang orang tuanya mengalami pemindahan tugas, terhitung anak dari guru yang mengajar di sekolah tertentu.

Abdul Mu’ti meyakinkan bahwa perubahan dari PPDB ke SPMB bukan sekadar perubahan nama, tapi merupakan usaha pemerintah untuk menambah layanan pendidikan bagi seluruh kalangan. “Rancangan ini sudah kami sampaikan kepada Bapak Presiden, dan beliau menyebutkan sepakat bersama substansi dari usulan kami,” tuturnya.

Terkait perihal itu, Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengedepankan perubahan kebijakan PPDB tidak boleh hanya sekadar mengganti arti tanpa tersedia perbedaan substansi yang nyata. Menurutnya, perubahan selanjutnya perlu memberikan dampak supaya mampu dirasakan oleh masyarakat.

“Pergantian kebijakan itu kan tentu bukan hanya pindah ya. Jadi perubahan sebuah kebijakan lebih-lebih nama kebijakannya itu diinginkan oleh penduduk terhitung tersedia perubahan dari sisi substansinya,” kata Doni kepada Liputan6.com, Jumat (31/1/2025).

Ia menilai bahwa didalam pengalaman pengambilan kebijakan di Indonesia, tiap-tiap perubahan menteri sering membawa perubahan arti yang kadang waktu tidak diiringi bersama perubahan didalam sistemnya. Oleh karenanya, ia mendorong terdapatnya inovasi didalam perubahan kebijakan selanjutnya supaya penduduk memperoleh kegunaan yang nyata didalam sistem PPDB yang baru ini.

“Kalau hanya seperti itu, hanya pindah nama saja tapi substansinya tidak berubah ya sama saja kan, penduduk tidak menemukan tersedia inovasi atau kebaruan di didalam sistem PPDB ini,” imbuhnya.

Doni memandang bahwa perubahan nama PPDB menjadi SPMB memang mampu mempermudah didalam pelaksanaan penerimaan murid baru ini. Mengingat, perihal ini mampu berikan dampak tradisi pada instansi pendidikan.

“Penggantian nama ini memang mempermudah ya, memang sistem penerimaan murid baru kan sudah tersedia dulu, Sebelum PPDB ya. Jadi mungkin dari sisi penamaannya saja lebih mengedepankan dimensi relasi sekolah, guru dan siswa di sekolah formal. Karena arti peserta didik itu untuk semua. Peserta didik itu seluruh yang belajar di pendidikan formal, non formal, informal. Nah kalau murid itu identiknya sekolah formal,” ucapnya

“Jadi sekolah umumnya kalau misalkan di sekolah itu ya guru dan siswa atau murid. Nah mungkin ini akan lebih difokuskan ke pendidikan formal, karena seleksi yang diatur itu lebih banyak ke pendidikan formal, bukan pendidikan non resmi seperti sanggar belajar atau pusat kegiatan belajar penduduk itu tidak diatur di didalam PPDB. Maka mungkin lebih pas ya murid karena ini seluruh masuk di instansi formal,” sambungnya.

Lebih lanjut, Doni terhitung mengakui bahwa memang tersedia sebagian perubahan didalam mekanisme penerimaan siswa didalam SPMB, seperti penyesuaian jalan prestasi yang kini tidak hanya mencakup bidang seni dan olahraga, tapi terhitung pengalaman kepemimpinan.

“Jalur prestasi itu kan pada mulanya hanya seni dan olahraga. Yang saat ini ini mampu masuk unsur pengalaman menjadi pemimpin, ya. Jadi ketua OSIS, pemimpin OSIS, pemimpin pramuka atau dia menjadi pemimpin perhimpunan pelajar Indonesia, misalkan itu bisa. Dan saya rasa ini lumrah ya dan umumnya para anak-anak muda yang menjadi pemimpin itu, umumnya memang sudah miliki kekuatan juang yang bagus dan umumnya memang anak-anak yang secara akademik mampu,” ungkapnya.

Adapun tentang rancangan pemerintah akan melibatkan sekolah swasta didalam sistem SPMB, Doni memandang perihal selanjutnya merupakan usaha pembelajaran dari kebijakan sama yang sudah diterapkan di DKI Jakarta sejak 2020.

“Saya rasa kementerian belajar dari apa yang terjadi bersama area tertentu Jakarta. Karena di area tertentu Jakarta ini sudah sejak 2020 atau 2021 sudah menerapkan kemitraan bersama sekolah swasta. Dan ini bagus. Mengapa? Karena jumlah sekolah negeri, kuota rombongan belajar sekolah negeri itu seringkali enggak mencukupi untuk menampung para lulusan. Padahal didalam UU Daerah anak-anak di area itu perlu memperoleh akses pendidikan. Enggak boleh tersedia yang enggak sekolah, Maka bagaimana pemerintah menyediakan? Ya lewat kerja sama bersama sekolah swasta,” kata Doni.

Sistem Zonasi Masih Lebih Baik?

Kemudian tentang koordinasi pada Mendikdasmen bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Doni menilai cara selanjutnya sudah tepat. Pasalnya, didalam Undang-Undang Otonomi Daerah, pengelolaan SD dan SMP berada di tangan pemerintah kabupaten/kota, saat SMA berada di bawah kewenangan pemerintah provinsi.

Oleh karena itu, peran Kemendagri sangat perlu untuk meyakinkan implementasi kebijakan ini di daerah. “Mendikdasmen memang perlu berkoordinasi bersama Mendagri. Supaya apa? Supaya meyakinkan pemerintah area itu melaksanakan. Karena kalau misalkan nih pemerintah area itu nggak melaksanakan, kan menteri nggak mampu berikan sanksi. Yang berikan sanksi kan Mendagri,” ujarnya.

Doni menyoroti bahwa koordinasi semacam ini sangat dibutuhkan didalam sistem pemerintahan yang kompleks seperti Indonesia. Tanpa pengawasan dan sanksi yang jelas, tersedia mungkin pemerintah area tidak menggerakkan kebijakan SPMB bersama maksimal.

“Jadi sudah benar langkah-langkah seperti itu koordinasi. Karena Indonesia ini menjadi ribet karena Undang-Undang Otonomi Daerah itu. Menteri hanya mampu menganjurkan, tapi yang perlu berikan sanksi, memberikan pendampingan, teguran, kalau tidak sukses bersama baik ya Mendagrinya,” pungkasnya.

Sementara itu, Pengamat Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah menilai bahwa perubahan PPDB menjadi SPMB hanya berupa nomenklatur, dan tidak membawa perubahan yang substansial.

“Ya soalnya yang saya dengar hanya berubah nomenklatur. Secara substantif, nggak tersedia yang berubah. Jadi kesan bahwa kementerian ini hanya merubah bungkus tidak substantif itu sangat terjadi gitu. Karena memang menurut fakta di lapangan dan kajian riset, zonasi adalah tetap merupakan sebuah pilihan yang paling baik,” kata Deden kepada Liputan6.com, Jumat (31/1/2025).

Deden mengungkapkan bahwa masalah utama didalam sistem zonasi memang berasal dari keterbatasan jumlah sekolah negeri di sejumlah daerah. Oleh karena itu, ia mengedepankan bahwa pemerintah selayaknya berfokus pada penyediaan sekolah, bukan justru merubah nomenklatur kebijakan.

“Nah saat tidak tersedia sekolah negeri yang lumayan maka kandungan yang itu tuh diubah gitu persentasenya. Jadi di didalam kondisi normal dimana sekolah-sekolah itu tersedia merata di tiap-tiap kecamatan/kabupaten, maka yang paling besar persentasenya adalah zonasi jarak rumah. Katakanlah dia mampu jatah 50% ya mengfungsikan sistem zonasi,” ujarnya.

Deden pun mengaku heran terdapatnya perubahan nomenklatur soal kebijakan PPDB tersebut. Menurutnya, perihal itu tidak membawa perbedaan berarti didalam implementasi. Ia pun mencontohkan bahwa didalam sistem zonasi, aplikasi PPDB mampu mengukur jarak secara akurat, saat domisili berpotensi menimbulkan bias.

“Saya tersedia kesan secara general ya, mungkin mampu dikaitkan keliru satunya bersama zonasi ini. Saya menangkap Menteri ini dan tim ya, Menteri dan jajarannya ini sangat terburu-buru. Terlalu terburu-buru untuk merubah satu kebijakan. Dan saya nggak menyadari tujuannya apa tapi ini tidak baik didalam konteks prosedur kebijakan. Kebijakan itu memang secara normatif perlu sebagian tahapan kajian mendalam supaya justru tidak menghasilkan kebijakan yang lebih baik gitu,” ungkapnya

Jejen mengedepankan bahwa sistem zonasi memang mendukung siswa dari keluarga kurang mampu untuk terhubung pendidikan tanpa perlu mengeluarkan cost transportasi besar. “Oleh karena itu memang kenapa zonasi itu, saya mendukung zonasi karena siswa itu tidak muncul cost untuk pergi ke sekolah, kalaupun muncul itu jaraknya dekat ya, bermakna masih mampu ditempuh katakanlah jalan kaki atau bersepeda atau motor ya, menjadi tidak sangat jauh,” jelasnya.

Menurutnya, sistem zonasi amat mungkin kandungan jalan afirmasi bagi warga miskin diperbesar. “Misalnya tersedia dua orang siswa bersama jarak yang sama ke sekolah, tapi yang satu miskin, yang satu mampu, maka yang miskin perlu diprioritaskan. Ini mampu diterapkan secara aplikasi karena knowledge warga miskin sudah tidak menjadi informasi privat,” tambahnya.

Leave a Reply

WorldNews